Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan
Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Pengertian Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif merupakan suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan pemidanaan, yang menekankan pada konsep menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum pelaku tindak pidana. Secara umum, keadilan restoratif dapat diartikan sebagai suatu langkah penyelesaian terhadap perkara pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak, sehingga tercipta keadaan yang sama sebagaimana sebelum terjadinya kejahatan. Sedangkan Bagir Manan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor : 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, menyebutkan bahwa :
  • Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Lebih lanjut disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor : 11 Tahun 2012 tersebut bahwa peradilan restoratif merupakan suatu proses diversi, myaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak bedasarkan pembalasan. 


Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Yang berwenang menghentikan penuntutan dalam perkara pidana adalah penuntut umum. Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyebutkan bahwa :
  • a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Selain alasan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut di atas, penuntut umum juga mempunyai kewenangan untuk dapat menghentikan penuntutan perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 tersebut di atas, di mana dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorarif tersebut, penuntut umum harus memperhatikan :
  • kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi.
  • penghindaran stigma negatif.
  • penghindaran pembalasan.
  • respon dan keharmonisan masyarakat, dan ;
  • kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 


Syarat Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020, yang menyebutkan bahwa :

(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut :
  • a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
  • b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
  • c. tindak pidana dilakukan dengan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selain harus terpenuhinya persyaratan sebagai ditentukan di atas, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif harus juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  • telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara : 1. mengembalikan barang diperoleh dari tindak pidana kepada korban. 2. mengganti kerugian korban. 3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, dan/atau 4. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.
  • telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka.
  • masyarakat merespon positif.


Tata Cara Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Terdapat dua komponen dalam hal tata cara penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, yaitu :

1. Upaya Perdamaian.
Upaya perdamaian diatur dalam ketetuan Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020. Upaya perdamaian merupakan upaya yang ditawarkan oleh penuntut umum saat memasuki tahap penuntutan, tanpa adanya tekanan, paksaan, dan intimidasi. Dalam hal tawaran upaya perdamaian diterima oleh korban dan tersangka, maka upaya ini akan dilanjutkan ke tahapan berikutnya yaitu proses perdamaian, sedangkan apabila upaya perdamaian ditolak oleh korban dan/atau tersangka maka penuntut umum akan melimpahkan perkara ke pengadilan.

2. Proses Perdamaian.
Proses Perdamaian diatur dalam ketentuan Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020. Dalam proses perdamaian (yang dilakukan di kantor kejaksaan), peran penuntut umum adalah sebagai fasilitator, yang tidak mempunyai kepentingan atau keterikatan dengan perkara, korban, maupun tersangka, baik secara pribadi maupun profesi. Proses perdamaian dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh tersangka. Jika proses perdamaian tercapai, maka korban dan tersangka akan membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis dihadapan penuntut umum yang isinya :
  • sepakat berdamai disertai dengan pemenuhan kewajiban tertentu.
  • sepakat berdamai tanpa disertai dengan pemenuhan kewajiban tertentu. 

Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang dibuat secara tertulis tersebut, penuntut umum akan melaporkannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian. Di samping penyampaian laporan tersebut, penuntut umum juga akan meminta persetujuan untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.


Tindak Pidana yang Tidak Dapat Dihentikan Penuntutannya Berdasarkan Keadilan Restoratif. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan terhadap :
  • tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
  • tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal.
  • tindak pidana narkotika.
  • tindak pidana lingkungan hidup.
  • tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Demikian penjelasan berkaitan dengan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Semoga bermanfaat.

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana (Wederrechtelijk)

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana (Wederrechtelijk)

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, sebagaimana hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Maksud dari hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau lembaga-lembaga negara, dalam arti bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaan yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara masyarakat dengan perseorangan dan sebaliknya. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia telah dikodifisir, di mana sebagian terbesar dari aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek) tersendiri, yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), menurut suatu sistem tertentu. 

Hukum pidana adalah
 serangkaian ketentuan-ketentuan yang merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara, yang mengatur tindakan larangan atau tindakan yang diharuskan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Satauchid Kartanegara mengartikan hukum pidana sebagai sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau keharusan mana disertai ancaman pidana, dan apabila hal tersebut dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan pidana dan melaksanakan pidana. Sedangkan Prof. Moeljatno, SH mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan :
  1. Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan itu.
  2. Kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dari beberapa pengertian tentang hukum pidana tersebut dapat dikatakan bahwa hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het strafrecht is wezenlijk sanctie-recht).


Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana. Perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah "wederrechtelijk", yaitu segala perbuatan yang menurut wujud atau sifatnya bertentangan dengan tatanan atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, atau dengan kata lain segala perbuatan yang bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Sebagaimana perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata (onrechtmatige daad), konsep perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana juga berkaitan dengan pelanggaran hukum. Dalam ilmu pengetahuan hukum, adanya perbedaan pengertian antara hukum dan undang-undang mempunyai konsekuensi terhadap pengertian dari "sifat melawan hukum" dan "sifat melawan undang-undang", yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • sifat melawan hukum, mengandung arti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
  • sifat melawan undang-undang, mengandung arti bertentangan dengan undang-undang atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-undang atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang.

Dalam peristiwa hukum pidana, perbuatan melawan hukum disebabkan karena adanya niat dan kesempatan  atau ada unsur kesengajaan atau kelalaian berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dilarang serta mengakibatkan menderitanya dan terganggunya keamanan jiwa ataupun raga seseorang termasuk gangguan kehilangan atau lenyapnya nilai harta benda milik seseorang korban.  Sifat melawan hukum perbuatan pidana tidak hanya terletak pada faktor subyektif atau terletak pada  diri pelaku melainkan juga terletak pada faktor obyektif, diantaranya adalah kejadian yang menyertai kelakuan si pelaku pada saat sedang atau setelah melakukan perbuatan pidana.


Jenis Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana. Secara umum, perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
  1. perbuatan melawan hukum formil (wederrechtelijk formil), merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sifat melawan hukum formil mengandung arti bahwa semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi.
  2. perbuatan melawan hukum materiil (wederrechtelijk materiil), merupakan perbuatan yang tidak tegas (mungkin) dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang, tetapi bertentangan juga dengan asas-asas umum di dalam lapangan hukum yang berlaku (algemen beginsel). Sifat melawan hukum materiil dapat ditinjau dari dua pandangan, yaitu : 1. dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik. 2. dari sudut sumber hukumnya, di mana sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.


Sedangkan jika merujuk pada rumusan pasal-pasal pidana yang mengaturnya, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Perbuatan Melawan Hukum Khusus
Perbuatan melawan hukum khusus merujuk pada rumusan pasal pidana yang secara tegas mencantumkan frasa "melawan hukum" (tercantum dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti dari delik). Misalnya ketentuan Pasal 372 KUH Pidana, yang menyebutkan bahwa : 
  • Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

2. Perbuatan Melawan Hukum Umum
Perbuatan melawan hukum umum merujuk pada pasal pidana yang tidak mencantumkan frasa "melawan hukum" (tidak tercantum dalam dalam rumusan delik), tetapi unsur melawan hukum tetap dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai melawan hukum secara umum. Misalnya ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUH Pidana, yang menyebutkan bahwa : 
  • (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah".


Pembedaan perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dengan merujuk pada rumusan pasal-pasal pidana tersebut terlihat jelas dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dalam ketentuan : 

1. Pasal 2 Ayat (1)  Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999.
Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 secara tegas mencantumkan frasa "melawan hukum", sebagai berikut :
  • (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-nama kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Dalam perjalanannya penjelasan tentang frasa "melawan hukum" yang mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil tersebut dimohonkan uji materiil di Mahkamah Konstitusi, dan berdasarkan putusan permohonan pengujian undang-undang Nomor : 003/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menghapuskan aspek perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Namun demikian dalam praktek peradilan, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dipatuhi sepenuhnya oleh penegak hukum. Sebagian dari penegak hukum terutama hakim, tetap berpegang pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 45 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan :
  • (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) tersebut memberi ruang kepada hakim untuk menggali serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dalam beberapa kasus perbuatan melawan hukum dalam arti materiil masih diterapkan.

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999.
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tidak mencantumkan frasa "melawan hukum", sebagai berikut : 
  • Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa "melawan hukum" merupakan unsur yang penting dalam tindak pidana. Unsur melawan hukum inilah yang akan menentukan apakah seseorang layak dijatuhi pidana atau tidak. Walaupun dalam praktek, tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau merugikan masyarakat akan diberi sanksi pidana, misalnya perbuatan tidak menepati janji (break of trust). Walaupun sudah nyata bahwa perbuatan tidak menepati janji tersebut bersifat melawan hukum dan merugikan masyarakat, tapi perbuatan tersebut tidak dapat dituntut menurut hukum pidana. Hanya saja pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian kerugian menurut hukum perdata.

Untuk menentukan suatu perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam perbuatan pidana, adalah :
  1. Ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memberikan sanksi pidana adalah apabila perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan kerugian yang besar dalam masyarakat. 
  2. Tergantung pada pandangan. Apakah ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. 
Kedua faktor tersebut satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi.


Perbedaan Antara Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata. Walaupun antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata sama-sama berkaitan dengan adanya perbuatan melanggar hukum, tetapi di antara keduanya juga mempunyai perbedaan. Perbedaan dimaksud adalah sebagai berikut :

1. dari segi istilah :
  • perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana disebut wederrechtelijk.
  • perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata disebut onrechtmatige daad.

2. dari sifatnya :
  • sifat hukum pidana adalah hukum publik, sehingga perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana berkaitan dengan kepentingan umum yang dilanggar.
  • sifat hukum perdata adalah hukum privat, sehingga perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata berkaitan dengan pelanggaran terhadap kepentingan pribadi.

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer)" menyebutkan bahwa yang membedakan antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata adalah sifatnya, perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana sebagai hukum publik berarti ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.


Penerapan Hukum Antara Perbuatan Melawan Hukum dengan Perbuatan Tindak Pidana. Jika seseorang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka ada kemungkinan juga unsur-unsur tersebut juga merupakan  unsur-unsur perbuatan melawan hukum, meskipun tidak selamanya begitu. Apabila terhadap satu tindakan tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum maupun unsur-unsur tidak pidana, maka kedua macam sanksi dapat dijatuhkan secara bersamaan. Artinya pihak korban dapat menerima ganti rugi perdata (dengan dasar gugatan perdata), dan pada waktu yang bersamaan (dengan proses pidana) pelaku juga dapat dijatuhi sanksi pidana. 

Demikian penjelasan yang berkaitan dengan pengertian dan jenis perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijk), perbedaan antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dan hukum perdata, serta penerapan hukum antara perbuatan melawan hukum dengan perbuatan tindak pidana.

Semoga bermanfaat.

Pengertian Dekriminalisasi, Bentuk, Mekanisme, Dan Faktor Penyebab Dekriminalisasi, Serta Perbedaan Antara Dekriminalisasi Dan Depenalisasi

Pengertian Dekriminalisasi, Bentuk, Mekanisme, Dan Faktor Penyebab Dekriminalisasi, Serta Perbedaan Antara Dekriminalisasi Dan Depenalisasi

Pengertian Dekriminalisasi. Dekriminalisasi merupakan kebalikan dari kriminalisasi. Jika kriminalisasi diartikan sebagai suatu proses di mana suatu perbuatan yang semula tidak dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana, kemudian dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan jahat atau tindak pidana dan dapat dihukum pidana. Dengan kalimat yang lebih sederhana, kriminalisasi adalah membuat suatu proses yang tadinya tidak jahat menjadi jahat dan dapat dihukum pidana. 

Sedangkan dekriminalisasi diartikan sebaliknya, yaitu suatu proses di mana suatu perbuatan yang merupakan kejahatan atau tindak pidana karena dilarang dalam peraturan perundang-undangan, yang karena dicabutnya pasal yang mengatur tentang perbuatan tersebut maka perbuatan dimaksud bukan lagi merupakan perbuatan jahat atau tindak pidana dan tidak dapat dipidana. Dengan kalimat yang lebih sederhana, dekriminalisasi adalah suatu perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan pidana menjadi tidak dipidana.
  • contoh dekriminalisasi : Dalam ketentuan Pasal 534 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) menyebutkan bahwa "Barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam dengan hukuman penjara". Ketentuan Pasal 534 KUH Pidana tersebut saat ini tidak memiliki daya paksa lagi, oleh karena dalam rangka pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) pemerintah menganjurkan penggunaan alat kontrasepsi, otomatis para petugas penyuluhan Keluarga Berencana akan memperagakan penggunaan alat kontrasepsi dimaksud. 


Bentuk Dekriminalisasi. Menurut pendapat Prof. J.E. Sahetapy, SH, dekriminalisasi dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
  1. dekriminalisasi dalam legislasi. Dekriminalisasi dalam legislasi yaitu suatu perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang, karena terjadi perubahan terhadap undang-undang tersebut maka perbuatan dimaksud tidak lagi menjadi ketentuan pidana.
  2. dekriminalisasi dalam praktik. Dekriminalisasi dalam praktik yaitu suatu perbuatan yang diatur dalam undang-undang, dan undang-undangnya masih berlaku tetapi masyarakat sudah menganggap perbuatan tersebut bukan sebagai tindak pidana lagi.


Mekanisme Dekriminalisasi. Dekriminalisasi dapat dilakukan melalui berberapa cara atau mekanisme, yaitu :
  • pencabutan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan pidana dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang baru atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  • ketentuan pidana yang termuat dalam suatu undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian undang-undang.
  • hakim tidak lagi menerapkan ketentuan pidana dalam suatu undang-undang karena dirasa tidak lagi mencerminkan rasa keadilan atau dipandang telah ketinggalan jaman (contra legem).


Faktor Penyebab Dekriminalisasi. Menurut Mahrus Ali, dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab, diantaranya adalah :
  • suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Terdapat kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.
  • timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu. 
  • adanya keragu-raguan  yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.
  • sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negtif tertentu sehingga penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.


Perbedaan Antara Dekriminalisasi dan Depenalisasi. Sekilas antara dekriminalisasi dan depenalisasi adalah sama, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. Jika dekriminalisasi adalah suatu perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan pidana menjadi tidak dipidana, maka depenalisasi merupakan proses penghilangan sanksi pidana dari suatu perilaku yang diancam dengan pidana, akan tetapi masih dapat dituntut melalui cara atau sistem hukum yang lain. Sedangkan, menurut Sudarto, depenalisasi adalah suatu perbuatan yang semula diancam pidana, ancaman pidana tersebut dihilangkan akan tetapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain, yaitu dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal penting yang membedakan antara dekriminalisasi dan depenalisasi, yaitu sebagai berikut :

1. Dekriminalisasi :
  • dalam dekriminalisasi yang dihilangkan atau dihapuskan tidak hanya kualifikasi pidananya saja, tetapi juga sifat melawan hukun atau melanggar hukumnya. 
  • penghapusan sanksi negatif tidak diganti dengan reaksi sosial lain, baik perdata maupun administrasi. 

2. Depenalisasi :
  • dalam depenalisasi yang dihilangkan atau dihapuskan hanyalah kualifikasi pidananya, sedangkan sifat melawan hukum atau melanggar hukum masih tetap dipertahankan.
  • penanganan terhadap sifat melawan hukum atau melanggar hukum dalam depenalisasi tersebut diserahkan pada sistem hukum lain, seperti sistem hukum perdata, sistem hukum administrasi, dan lain sebagainya.
  • proses depenalisasi menimbulkan kesadaran bahwa pemidanaan merupakan ultimatum remidium (upaya terakhir).
  • depenalisasi memunculkan suatu politik kriminal (criminal politic), maksudnya adalah suatu usaha yang rasional dari pemerintah/penguasa dalam menangani suatu kejahatan, yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu jalur hukum pidana (penal) dan jalur non hukum pidana (non penal).


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dekriminalisasi, bentuk, mekanisme, dan faktor penyebab dekriminalisasi, serta perbedaan antara dekriminalisasi dan depenalisasi.

Semoga bermanfaat. 

Pengertian Kriminalisasi, Kriteria, Ruang Lingkup, Dan Asas Kriminalisasi

Pengertian Kriminalisasi, Kriteria, Ruang Lingkup, Dan Asas Kriminalisasi

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita sering membaca dan mendengar, baik lewat media cetak, media online (daring), atau media elektronik lainnya, istilah "kriminalisasi". Mulai dari kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kriminalisasi ulama, dan lain sebagainya. Penggunaan istilah kriminalisasi tersebut, tidak hanya sering diucapkan oleh orang awam atau orang yang tidak paham hukum, tapi sering juga diucapkan oleh orang-orang yang paham tentang hukum. Yang menjadi permasalahan adalah apakah penggunaan istilah kriminalisasi yang cenderung berkonotasi negatif tersebut sudah tepat ?

Istilah kriminalisasi yang belakangan sering beredar di masyarakat, dapat dimaknai sebagai suatu tindakan aparat penegak hukum dalam menetapkan perbuatan seseorang sebagai perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana atas dasar pemaksaan interprestasi perundang-undangan. Atau dengan kata lain, aparat penegak hukum dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak (subyektif) atas perbuatan seseorang, lantas diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana. Apakah pengertian kriminalisasi seperti itu ? Tentu saja tidak.


Pengertian Kriminalisasi. Kata "kriminalisasi" berasal dari kata dasar "kriminal", yang berarti jahat. Secara sederhana, kriminalisasi dapat diartikan sebagai membuat suatu proses yang tadinya tidak jahat menjadi jahat dan dapat dihukum pidana. Dalam sudut pandang ilmu hukum, kriminalisasi merupakan bagian dari kajian ilmu kriminologi, yang diartikan sebagai suatu proses saat terdapat suatu perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat berikut sebab musabab orang melakukan kejahatan. Soetandyo Wignjosoebroto, dalam tulisannya yang berjudul "Kriminalisasi dan Dekriminalisasi : Apa yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini" yang disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, menyebutkan bahwa kriminalisasi adalah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi diartikan sebagai proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.
  • Terhadap pengertian kriminalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, sebagian ahli tidak sepakat. Hal itu disebabkan karena dalam pengertian kriminalisasi tersebut seolah-olah mengidentikkan antara makna "peristiwa pidana" dengan "perbuatan pidana". Sebagaimana diketahui bahwa dalam dasar hukum pidana, kedua istilah tersebut memiliki makna dan kandungan yang berbeda. Tidak setiap peristiwa yang terjadi disebabkan oleh perbuatan manusia, misalnya kematian ada yang disebabkan karena peristiwa alam (bencana alam). Oleh karena itu, sebagian ahli sepakat bahwa istilah yang paling tepat untuk digunakan yang mewakili tindakan tercela sebagai tindakan melawan hukum adalah perbuatan pidana.


Selain itu, pengertian tentang kriminalisasi juga bisa dijumpai dalam banyak pendapat dari para ahli, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul "Kriminologi : Suatu Pengantar", menyebutkan bahwa kriminalisasi adalah tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.
  • Sudarto, dalam bukunya yang berjudul "Hukum dan Hukum Pidana", menyebutkan bahwa kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
  • Rusli Effendy, dalam bukunya yang berjudul "Asas-Asas Hukum Pidana", menyebutkan bahwa kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.


Kriteria (Syarat) Kriminalisasi. Kriminalisasi setidaknya harus mempertimbangkan dua hal, yaitu : 
  • perbuatan apa yang sepatutnya dipidana. 
  • syarat apa yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan seseorang yang melakukan perbuatan tersebut.
Dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal, haruslah mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut :
  • apakah perbuatan tersebut tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
  • apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, maksudnya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan, penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
  • apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
  • apakah perbuatan-perbuatan tersebut menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.


Sedangkan menurut pendapat dari para ahli, kriteria kriminalisasi adalah sebagai berikut :

1. Moeljatno.
Moeljatno menyebutkan bahwa kriteria kriminalisasi adalah sebagai berikut :
  • penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
  • apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana tersebut adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut.
  • apakah pemerintah melalui alat-alat negara yang bersangkutan, benar-benar mampu untuk melaksanakan ancaman pidana seandainya ternyata ada yang melanggar larangan.

2. Sudarto.
Sudarto menyebutkan bahwa terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan kriminalisasi, yaitu :
  • tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat di dalam rangka menciptakan negara kesejahteraan.
  • perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
  • harus mempertimbangkan faktor baya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang.
  • harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum, jangan sampai aparat penegak melampaui bebannya atau melampaui batas.

3. Hullsman.
Hullsman menyebutkan bahwa terdapat empat kriteria absolut yang harus dipenuhi dalam proses kriminalisasi, yaitu :
  • kriminalisasi tidak ditetapkan semata-semata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku tertentu.
  • alasan utama untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk perlindungan atau perlakuan terhadap seseorang pelaku kejahatan potensial dalam kepentingannya sendiri.
  • kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan peradilan pidana.
  • kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.

4. Muladi.
Muladi menyebutkan bahwa terdapat beberapa ukuran yang secara doktrinal mesti diperhatikan sebagai pedoman dalam kriminalisasi, yaitu :
  • kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkrimibalisasi yang masuk kategori the misuse of criminal sanction.
  • kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc.
  • kriminalisasi tidak harus mengandung unsur korban victimizing, baik aktual maupun potensial.
  • kriminalsasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil serta prinsip ultimum remedium.
  • kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang dapat ditegakkan (enforceable).
  • kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.
  • kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali.
  • kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan tersebut.


Ruang Lingkup Kriminalisasi. Dari uraian tentang pengertian dan syarat-syarat kriminalisasi tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kriminalisasi adalah : 
  • hanya terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana.

Sedangkan menurut pendapat Paul Cornill, ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana saja, melainkan juga termasuk penambahan atau peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang telah ada.


Asas-Asas Kriminalisasi. Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana berikut ancaman sanksi pidananya, pihak yang berwenang harus memperhatikan beberapa asas. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Asas Legalitas.
Asas legalitas pada esensinya dapat ditemukan dalam ungkapan yang dikemukakan oleh Anselm Von Feurbach, yaitu : "nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali" yang mengandung arti bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Asas legalitas ini merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana, terutama dalam penetapan kriminalisasi. 

Makna Asas Legalitas. Menurut J.E. Sahetapy, makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah sebagai berikut :
  • tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
  • tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
  • tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
  • tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
  • tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
  • tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
  • penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Fungsi Asas Legalitas. Secara umum, asas legalitas berfungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana dan mengamankan hukum posisi hukum rakyat terhadap negara. Sedangkan dalam doktrin hukum pidana, terdapat enam fungsi asas legalitas yaitu sebagai berikut : 
  • pada hakekatnya, asas legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik secara luas tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah lakunya.
  • menurut aliran klasik fungsi asas legalitas adalah membatasi ruang lingkup hukum pidana, sedangkan menurut aliran modern fungsi asas legalitas adalah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan masyarakat. 
  • fungsi asas legalitas adalah untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara (penguasa). 
  • asas legalitas dikaitan dengan peradilan pidana, mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas diharapkan memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus menentukan tingkatan-tingkatan dari persoalan yang ditangani oleh suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak dapat dipakai lagi.
  • tujuan utama asas legalitas adalah untuk membatasi kesewenang-wenangan yang mungkin timbul dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi pelaksanaan dari kekuasaan tersebut atau menormakan fungsi pengawasan dari hukum pidana tersebut. Fungsi pengawasan di sini juga merupakan fungsi asas kesamaan, asas subsidiaritas, asas proporsionalitas, dan asas publisitas.
  • asas legalitas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang disertai dengan ancaman pidana tertentu. Dengan adanya penetapan perbuatan terlarang tersebut berarti ada kepastian (pedoman) dalam bertingkah laku bagi masyarakat.

2. Asas Subsidiaritas.
Asas subsidiaritas bermakna bahwa  hukum pidana harus ditempatkan sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas/upaya terakhir) dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen penal, bukan sebagai premum remedium (senjata utama) untuk mengatasi masalah kriminal. 

3. Asas Persamaan/Kesamaan.
Asas persamaan/kesamaan dimaksudkan untuk mengadakan suatu sistem hukum pidana yang lebih jelas dan sederhana, sehingga dapat mendorong lahirnya hukum pidana yang bersifat adil. Singkatnya, asas persamaan/kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan hukum pidana.


Satu hal yang penting dari kriminalisasi adalah bahwa kriminalisasi hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat maupun daerah, melalui produk undang-undang maupun peraturan daerah.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian kriminalisasi, kriteria, ruang lingkup, dan asas kriminalisasi.

Semoga bermanfaat. 

Alasan Penghapusan Pidana (Strafuitsluitingsgrond)

Alasan Penghapusan Pidana (Strafuitsluitingsgrond)

Tidak semua orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Dalam hukum pidana dikenal adanya satu asas yaitu "geen straf zonder schuld" yang artinya tidak dipidana tanpa kesalahan. Dalam hukum pidana, seseorang dapat dijatuhi pidana apabila memenuhi dua hal, yaitu :
  • Perbuatannya bersifat melawan hukum. Perbuatan yang didakwakan harus terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (melawan hukum formal), bertentangan dengan norma hukum atau tata nilai yang berlaku umum dalam masyarakat (melawan hukum material) dan tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang dilakukannya (alasan pembenar).
  • Pelaku tindak pidana dapat mempertanggung-jawabakan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Pelaku tindak pidana dapat tidak dikenai atau terbebas dari pidana apabila memenuhi alasan-alasan penghapusan pidana. Secara umum, alasan penghapusan pidana dapat diartikan sebagai suatu keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana kehilangan sifat tindak pidana-nya, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Atau dengan kata lain, alasan penghapusan pidana adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak dihukum. Hal tersebut dikarenakan :
  • orangnya tidak dapat dipersalahkan.
  • perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Alasan Penghapusan Pidana Menurut Teori Hukum Pidana. Dalam teori hukum pidana. alasan penghapusan pidana dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu :

1. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgrond).
Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dalam KUH Pidana, alasan pembenar terdapat dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1).

2. Alasan Pemaaf (Schuldduitsluitingsgrond).
Alasan pemaaf merupakan alasaan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap melawan hukum sehingga tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Dalam KUH Pidana, alasan pemaaf terdapat dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (2) dan Pasal 51 Ayat (2).

3. Alasan Penghapus Tuntutan.
Alasan penghapus tuntutan merupakan otoritas dari pemerintah. Apabila pemerintah beranggapan bahwa perbuatan melawan hukum terdakwa membawa atau atas dasar kemanfaatan (utilitas) kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum. Dalam KUH Pidana, alasan penghapus tuntutan terdapat dalam ketentuan misalnya pada Pasal 53. 

4. Dasar Penghapusan Pidana Umum.
Dasar penghapusan pidana umum merupakan dasar yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, yaitu semua tindak pidana yang dilakukan karena alasan untuk membela diri, paksaan, perintah atasan, dan perintah undang-undang tidak dapat dihukum.

5. Dasar Penghapusan Pidana Khusus.
Dasar penghapusan pidana khusus hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, misalnya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 221 Ayat (2) KUH Pidana.

Baca juga : Pengertian Sanksi

Alasan Penghapusan Pidana Dalam KUH Pidana. Dalam KUH Pidana tidak ada penjelasan konkrit tentang apa yang dimaksud dengan alasan penghapusan pidana, KUH Pidana hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Berikut alasan-alasan pengahapus pidana yang terdapat dalam KUH Pidana, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak Mampu Bertanggung Jawab.
Perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab secara mental (orang dengan gangguan jiwa atau di bawah pengampuan) tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUH Pidanya menyebutkan bahwa :
  • (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Kalimat "tidak dapat dipertanggungkan" dalam ketentuan pasal tersebut mengandung arti bahwa berkaitan dengan keadaan daya pikir si pelaku. Untuk dapat menentukan tidak dapat dipertanggung jawabkannya suatu perbuatan melawan hukum oleh terdakwa harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidang tersebut, seperti psikiater atau dokter spesialis.

Ketentuan Pasal 44 Ayat (2) KUH Pidana menyebutkan bahwa :
  • (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Apabila hakim memutuskan bahwa pelaku berdasarkan keadaan daya berpikir tersebut tidak dikenakan hukuman, maka hakim dapat menentukan penempatan si pelaku dalam rumah sakit jiwa selama jangka waktu percobaan, yang tidak melebihi satu tahun. Hal tersebut bukan merupakan hukuman akan tetapi berupa pemeliharaan.

2. Belum Dewasa.
Perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan belum cukup umur menurut undang-undang atau belum dewasa tidak dikenakan pidana. Dalam KUH Pidana, aturan-aturan yang berkaitan dengan orang yang dianggap belum dewasa, terdapat dalam :

a. Ketentuan Pasal 45 KUH Pidana menyebutkan bahwa : Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umum enam belas tahun, hakim dapat menentukan :

  • memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
  • atau memerintahakan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau  salah satu pelanggatan berdasarkan pasal-pasal 489, 490. 492. 496. 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

b. Ketentuan Pasal 46 KUH Pidana menyebutkan bahwa :

  • (1) Jika hakim memerintahkan kepada yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kapada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelanggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain, dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
  • (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

c. Ketentuan Pasal 47 KUH Pidana menyebutkan bahwa :

  • (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, aka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
  • (2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • (3) Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.

3. Keadaan Memaksa (Overmacht).
Perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan memaksa atau darurat tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 48 KUH Pidana menyebutkan bahwa : 

  • Barang siapa melakukan perbuatan karena pengarug daya paksa, tidak dipidana.

Sifat dari keadaan memaksa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
  • bersifat fisik (vis absolut).
  • bersifat psikis (vis compulsiva), yang terdiri dari : 1. daya paksa dalam arti sempit (overmarcht in enge zin), 2. keadaan darurat (noodtoestand).

Sedangkan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 48 KUH Perdata tersebut adalah keadaan memaksa yang bersifat psikis bukan bersifat fisik. Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan Pasal 48 KUH Pidana pelaku perbuatan melawan hukum tidak dikenakan hukuman pidana, bukan karena perbuatannya tidak melawan hukum, akan tetapi karena keadaan memaksa pelaku dimaafkan (fait d'execuse).

4. Membela Diri (Noodweer).
Perbuatan pidana yang dilakukan karena membela diri atau dalam kondisi nyawa dan keselamatan dirinya terancam tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUH Pidana menyebutkan bahwa :

  • (1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUH Pidana tersebut, perbuatan seseorang dapat dikatakan membela diri apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
  • harus ada serangan atau ancaman serangan.
  • harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal.
  • perbuatan pembelaan diri harus seimbang dengan sifat serangan atau seimbang dengan ancaman yang diterima.

Sedangkan kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah berkaitan dengan :
  • diri orang.
  • kehormatan dan kesusilaan.
  • harta benda. 

5. Pembela Diri yang Melampaui Batas (Noodweer Exces).
Perbuatan pidana yang dilakukan karena pembelaan diri yang melampaui batas yang disebabkan oleh keguncangan jiwa karena adanya serangan yang mengancam nyawa dan keselamatan dirinya tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 49 Ayat (2) KUH Pidana menyebutkan bahwa :

  • (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pelampauan batas membela diri terjadi apabila :
  • serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan.
  • tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan yang diserang kembali.

Dalam kondisi demikian, pelaku hanya akan terhindar dari pidana apabila hakim menerima aksesnya yaitu "langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat", di mana hal tersebut sangat berhubungan dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.

6. Melaksanakan Perintah Undang-Undang.
Perbuatan pidana yang dilakukan melaksanakan perintah undang-undang tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 50 KUH Pidana menyebutkan bahwa :

  • Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Ketentuan tersebut dicantumkan dalam KUH Pidana dengan alasan untuk menghilangkan keragu-raguan aparat negara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam penegakan hukum.

7. Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel).
Perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan perintah jabatan tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 51 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
  • (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
  • (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Alasan Penghapusan Pidana Menurut Memorie van Toelichting (M.v.P). Dalam Memorie van Toelichting (M.v.P) dari KUH Pidana dijelaskan mengenai alasan penghapusan pidana, yaitu alasan-alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipindananya seseorang karena dua alasan, yaitu :

1. Inwendig.
Inwendig adalah alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya perbuatan seseorang yang terletak pada diri orang itu, yang meliputi :
  • pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (Pasal 44 KUH Pidana).
  • umur yang masih muda (di bawah umur). Mengenai hal tersebut, sejak tahun 1905 baik di Belanda maupun di Indonesia, tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman.

2. Uitwendig.
Uitwendig adalah alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkan perbuatan seseorang yang terletak di luar orang itu, yang meliputi :
  • keadaan memaksa atau overmarcht (Pasal 48 KUH Pidana).
  • pembelaan terpaksa atau noodweer (Pasal 49 KUH Pidana).
  • melaksanakan undang-undang (Pasal 50 KUH Pidana).
  • melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUH Pidana).
Alasan Penghapusan Pidana di Luar KUH Pidana. Selain alasan penghapusan pidana yang ada dalam KUH Pidana, terdapat beberapa alasan penghapusan pidana diluar apa yang disebutkan dalam KUH Pidana, yaitu :
  • hak mendidik dari orang tua.
  • ijin dari orang yang dirugikan.
  • hak jabatan dari dokter.
  • mewakili urusan orang lain.
  • tidak adanya perbuatan melawan hukum yang bersifat materiil.
  • tidak adanya kesalahan sama sekali.
  • alasan penghapus pidana putatif. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsgrond).

Semoga bermanfaat.